Rabu, 13 Juli 2011

SERTIFIKASI GURU DI SIANTAR, KUTIPAN LIAR

Oleh : Ramlo R Hutabarat





Kata sertifikat, sudah jamak sekali diketahui orang. Secara umum, artinya adalah alat bukti hak. Yang paling populer adalah sertifikat tanah. Artinya adalah, alat bukti hak atas tanah. Tapi sebenarnya, ragam dan banyak sekali jenis dan macam sertifikat. Ada Sertifikat Badan Usaha Jasa Konstruksi, ada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ada sertifikat pendidikan keterampilan, dan terlalu banyak lagi macam dan jenis sertifikat yang rasanya tak perlu diurai disini.



Ada lagi yang disebut Sertifikat Kompetensi untuk berbagai profesi. Dokter misalnya, harus memiliki sertifikat ini sebagai tanda pengakuan terhadap kemampuannya untuk menjalankan praktek kedokteran di seluruh Indonesia. Untuk dokter spesialis ditetapkan oleh kolegium terkait. Sedangkan untuk dokter praktek umum ditetapkan oleh Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia (KDDKI)



Guru juga memiliki sertifikat. Berdasarkan Undang-undang namanya Sertifikat Pendidik. Pendidik disini maksudnya adalah guru dan dosen. Sementara yang dimaksud dengan guru adalah guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling, dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan. Dengan pemberian sertifikat, ada proses pembuktian profesionalismenya. Artinya, guru yang telah memiliki sertifikat sudah sendirinya adalah seorang profesional.



Pemberian sertifikat pada guru harus melewati suatu proses yang disebut sebagai sertifikasi. Pemberian sertifikat ini, diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2011 yang diterbitkan pada 10 Maret 2011. Artinya, sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standart profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas.



Proses sertifikasi dilakukan bertujuan untuk menentukan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Juga untuk meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, serta untuk meningkatkan profesionalisme guru.



Sementara, jika guru telah memiliki sertifikat akan bermanfaat untuk melindungi profesi guru dari praktek-praktek yang tidak kompoten yang dapat merusak citra profesi guru, melindungi masyarakat dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional, serta untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Artinya, pendapatan guru yang telah memiliki sertifikat sudah pasti berbeda dengan pendapatan guru yang belum atau tidak memiliki sertifikat. Dan karena itulah, sudah pasti semua guru di tanah air berminat dan berambisi untuk mendapatkan sertifikat. Dan, sertifikat ini cuma bisa didapatkan setelah melalui proses sertifikasi.



Kasus Siantar



Kota Pematangsiantar di bawah kepemimpinan Hulman Sitorus dan Koni Ismail Siregar, memiliki 7 misi dalam rangka membangun daerah ini. Misi kelima adalah menguatkan sistem ekonomi, kualitas pendidikan dan kesehatan pada masyarakat marginal. Untuk mewujudkan itulah, Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar melakukan terobosan seperti yang dijanjikannya pada musim kampanye tempo hari.



Secara khusus, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di kota ini, Hulman dan Koni memprogramkan pemberian beasiswa bagi yang menempuh pendidikan pada sekolah swasta (SD, SMP, SMA) serta PTN. Juga pemberian bantuan biaya pendidikan sebesar 50 persen bagi tenaga pendidikan (guru) untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1 dan S2. Termasuk, peningkatan kualitas proses belajar mengajar dengan memberikan insentif sebesar Rp 5.000 per jam mengajar, serta pemberian bonus bagi tenaga pendidik sebesar Rp 1 juta per orang per tahun.



Sayangnya, sepanjang yang saya ketahui, program Hulman – Koni yang tertuang dalam misinya tadi sampai sekarang hanya ada di atas kertas. Artinya, program itu hanya ada dalam janji kampanye yang tidak (akan) dilakukannya sama sekali. Biasalah memang, janji pemimpin hanya janji dalam kamapanye semata. Tak perlu dipertanyakan kenapa dan tak perlu pula janji yang tak ditepati ini menyebabkan sakit hati. Terutama tentu, bagi warga yang memilih pasangan ini.



Hulman dan Koni, saya cermati memang belum menunjukkan kualitas dan kemampuannya membangun kota ini. Jangankan menepati janji-janjinya, menertibkan aparatnya pun secara khusus di sektor pendidikan Hulman dan Koni tidak memiliki kemampuan. Padahal, di sisi lain keduanya memprogramkan peningkatan kualitas pendidikan.



Sampai sekarang, di Kota Pematangsiantar ada 158 SD, 42 SMP, 29 SMA dan 37 SMK. Murid SD ada 31.963 dengan guru 1. 485, murid SMP 18. 620 dengan 1.299 guru, murid SMA 16. 318 dengan guru 1.027, dan murid SMK 13. 520 dengan guru 1. 176 orang. Plus seluruh guru di kota ini berjumlah 4. 967 orang (Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka 2006)



Dari 4. 967 orang guru di Pematangsiantar itu, hingga sekarang yang telah memiliki sertifikat masih 1.299 orang. Menyusul diprogramkan tahun ini sebanyak 868 orang guru lagi akan disertifikasi. Cobalah bayangkan bagaimana mutu dan kualitas pendidikan di kota ini bisa ditingkatkan seperti program Hulman – Koni, dengan kondisi riel yang seperti itu.



Proses sertifikasi guru ini pun, menurut berita surat kabar yang saya baca justru beraroma tak sedap berpotensi korupsi. Dan, Hulman – Koni pun tak bergeming. Sampai sekarang saya tidak mendapat tahu, berita yang dipublikasi salah satu surat kabar terbitan Siantar itu menjadi perhatian Hulman – Koni. Berita tadi dianggap sebagai angin lalu saja atau bagai anjing menggonggong kafilah berlalu. Padahal, sebagai pejabat publik keduanya harus tanggap dan responsif pada apa yang diberitakan surat kabar.



Supaya Hulman dan Koni tahu, sesungguhnya Kota Pematangsiantar tahun ini mendapatkan jatah 668 guru untuk disertifikasi. Namun belakangan, oleh Pempropsu jatah sertifikasi guru ditambah 200 orang lagi sehingga jumlahnya menjadi 868 orang. Penambahan ini bisa terjadi, karena ada beberapa daerah di Sumatera Utara yang tidak bisa melakukan sertifikasi itu. Sehingga, guru di kota ini mendapat tambahan jatah.



Sebagai seorang pemerhati pendidikan, saya sendiri spontan mengejar kebenaran pemberitaan surat kabar tadi. Apalagi, saya sendiri merupakan warga yang mendukung kepemimpinan Hulman – Koni. Saya berupaya mencari tahu ke Perguruan Pelita di Jalan Marihat, Perguruan Cinta Rakyat, juga ke Perguruan Budi Mulia. Intinya : Benarkah ada kutipan liar di Siantar berkaitan dengan sertifikasi guru ? Dan kalau benar, apa yang dilakukan Hulman – Koni terhadap pelakunya ? Lantas, siapakah oknum WH yang melakukan koordinasi untuk melakukan pengutipan liar tadi yang selalu melakukan pertemuan di rumah Boru Sinaga yang guru olahraga itu ?



Saya sendiri, tentu, tidak akan mengajari Hulman – Koni bagaimana melakukan penyelidikan atas informasi yang disampaikan salah satu surat kabar itu dalam bentuk berita. Mengajari Hulman – Koni dalam hal ini, bagai mengajari ayam untuk bertelur saja agaknya. Yang pasti, sebagai Walikota – Wakil Walikota, Hulman – Koni memiliki segala macam perangkat untuk itu. Inspektorat misalnya atau yang lain. Boleh jadi juga barangkali, Satpol PP.



Yang pasti, paparan ini pun tidak akan saya tulis jika saya tidak bisa membuktikan adanya kutipan liar dengan dalih sertifikasi guru itu. Kalau saya tidak bisa membuktikannya, tulisan ini saya pikir bisa digolongkan sebagai fitnah. Dan kata orang-orang bijak : Fitnah lebih kejam dari pembunuhan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar